Rabu, 11 November 2015

cerpen penantian

Penantian Maya
Oleh : Diffic Nian Insyafiah
            Sungguh bodoh jika kau menjalani hari seperti yang kulakukan. Karena aku memang sudah gila. Ya, gila, suatu kata yang merupakan pelampiasanku. Gila adalah aku. Aku adalah gila. Mungkin kau membayangkan aku seperti orang gila pada umumnya. Orang yang bisa saja menjadi psikopat karena kegilaannya, Tidak. Au sama sekali tidak seperti yang kau duga. Aku justru diam. Dan terus diam. Kau bahkan bisa menghitung berapa banyak kata yang kukeluarkan dari mulutku selama dua tahun.
            Kau bisa saja berpendapat bagaimana diriku. Kau boleh menambahkan namaku dalam daftar kecerewetanmu. Tak apa. Bukankah semua orang bebas berpendapat? Ah, lupakanlah. Nikmatilah hidupmu sejenak. Lakukanlah apa yang bisa kau lakukan.
            Memang benar yang kulakukan itu salah. Tapi inilah duniaku. Dunia yang membuatku terasa nyaman ketika aku bicara bersamanya. Kau dan aku berbeda. Tapi kau selalu menganggapnya sama. Mungkin karena kita berasal dari darah yang sama. Tapi itu tak membuatku harus selalu menyamaimu kan?
            Kau pernah bilang, bahwa kita ditakdirkan untuk saling menjaga, bahwa kita saling membutuhkan, dan saling melengkapi. Tapi kuharap kau tak pernah mengacaukan ‘Acaraku’ lagi. Kau memang benar bahwa kita adalah manusia dan persamaan-persamaan yang terjalin di antara kita haruslah didasari dengan rasa saling mengerti.
            Tapi kau lupa, kau tak pernah mengerti apa yang kumau. Bahkan ketika hari terbaikku datang, kau membuat semuanya menjadi hancur.
            Aku tetap di sini. Di sini dalam arti duduk mematung dan menyendiri di tengah-tengah taman. Ketika sudah tepat waktunya, yaitu tengah malam, aku akan melakukan seperti biasanya. Aku berdiri, bukan untuk menuruti ajakanmu untuk pulang. Tetapi untuk mengambil teh dari dalam rumah dan menikmatinya di halaman rumah dengan beralas tikar kecil.
            Seperti sudah kusiapkan semua untuk ‘acaraku’ itu. Aku menikmati setiap seruputan teh yang membasahi kerongkonganku yang telah lama kering. Karena aku hanya bisa makan atau minum di saat yang seperti ini.
Cahaya rembulan membasuh tiap pori-pori kulitku. Kelembutan dari cahayanya membuat jiwaku merasa utuh. Kutatap bintang-bintag yang mengapung dalam langit malam. Kusenandungkan beberapa lagu buatanku sendiri untuk mereka. Mereka adalah para jangkrik yang mengerik, suara sekawanan katak, bunga-bunga, pepohonan, dedaunan, rembulan, bintang, dan suara-suara lain pengisi malam.
Tentu saja bukan itu yang menjadi tujuanku. Kau tahu, aku sedang menanti. Ya, menanti. Menanti dalam arti aku benar-benar menunggu seseorang yang amat istimewa bagiku.
Namun, yang kutunggu tak pernah tak pernah datang. Yang kutunggu sudah meninggal tiga tahun lalu, ialah Ibuku. Ibu tercinta. Aku selalu mencintainya, bahkan aku tak pernah bisa jauh darinya walau sedetik saja.
“Ibu akan selalu ada di sisimu, Maria. Ibu tak akan kemana-mana. Ibu tak akan pergi jauh.
Itulah kata-kata Ibu yang lembut selalu terngiang-ngiang di telingaku. Dan aku tak kan pernah lupa dari empat tahun yang lalu sampai sekarang.
Aku akan selalu menanti ibu datang untuk menemaniku setiap aku tidur seperti dulu. Tak pernah kupedulikan orang berkata apa. Karena aku yakin Ibuku tak pernah berbohong, tak kan pernah meninggalkanku atau menjauhiku. Aku tahu, Ibuku pasti punya urusan penting untuk sebentar saja. Aku yakin itu, Ibuku tidak akan meninggalkanku!
Walau beribu-ribu kali hari berganti, aku kan tetap di sini menunggu Ibuku datang. Aku sama sekali tak peduli pada hal lain. Yang kupedulikan hanyalah menanti. Karena aku sudah tak punya tujuan hidup lagi.
Kadang aku tak tahu apa dan siapa yang kunanti. Tapi yang jelas aku akan terus menanti beberapa orang yang pernah kurindukan walau mereka tak pernah datang. Itulah kenapa aku menyebut diriku ‘Sang Penanti’, yang kan selalu menanti.
*****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar